1 Jan 2013

Worksheet Perhitungan PPh Ps 21 Pegawai Tetap 2013


Update Perhitungan PPh Ps 21 Pegawai Tetap Tahun 2013 sesuai dengan penyesuaian PTKP pada PMK No.162/PMK.011/2012 Serta pedoman teknis tata cara pemotongan PPh Ps 21 PER - 31/PJ/2012.
Baca Tulisan Lainnya :

Haruskah Wanita Kawin Memiliki NPWP ?

Ikhtisar Biaya Deductible & Non Deductible

Rekonsiliasi Fiskal Atas L/R Komersial

Penegasan Atas Pelaksanaan Pasal 31E Ayat (1) Tentang Pengurangan Tarif PPh Sebesar 50% bagi WP Badan dengan Omzet Kurang dari 50M

Kata kunci : Worksheet Perhitungan PPh Ps 21 Pegawai Tetap  2013,PPh 21,Menghitung PPh 21

Salam

Eko Dodi

15 Okt 2010

Formulir SPT PPN 1111


Sebelumnya saya mau minta maaf dulu neeh sama rekan-rekan yang suka buka-buka blog ini karena sudah lama sekali blog ini ngga di update dengan tulisan baru, oke deh kita mulai saja. Tarik,,,
Saya yakin temen temen-udah pada tau info ini, tapi pasti ada juga yang belum tau jadi mending saya tulis aja deh , Tanggal 6 oktober 2010 lalu diterbitkan peraturan baru mengenai pemberlakuan SPT PPN dengan formulir baru melalu PER-No.44/PJ/2010 yang bertujuan untuk memberikan kemudahan, kepastian hukum, dan Meningkatkan pelayanan kepada Pengusaha Kena Pajak dalam melaporkan kegiatannya serta mempertanggungjawabkan perhitungan jumlah pajak pertambahan nilai atau pajak pertambahan nilai dan pajak atas penjualan barang mewah yang terhutang, yang akan diberlakukan terhitung mulai tanggal 1 januari 2011 (Masa januari dilapor Febuari) sehingga bentuk, isi, dan tata cara pengisian serta penyampaian SPT Masa PPN yang sebelumnya mengggunakan SPT Masa PPN 1107 menjadi SPT Masa PPN 1111, dimana SPT Masa PPN 1111 terdiri dari :
a.Induk SPT Masa PPN 1111-Formulir 1111 (F.1.2.32.04); dan
b.Lampiran SPT Masa PPN 1111:
1. Formulir 1111 AB - Rekapitulasi Penyerahan dan Perolehan (D. 1.2.32.07)
2. Formulir 1111 A1- Daftar Ekspor BKP Berwujud, BKP Tidak Berwujud dan/atau JKP (D.1.2.32.08);
3. Formulir 1111 A2 - Daftar Pajak Keluaran atas Penyerahan Dalam Negeri dengan Faktur Pajak (D.1.2.32.09);
4. Formulir 1111 B1 - Daftar Pajak Masukan yang Dapat Dikreditkan atas Impor BKP dan Pemanfaatan BKP Tidak Berwujud/JKP dari Luar Daerah Pabean (D.1.2.32.10);
5. Formulir 1111 B2 - Daftar Pajak Masukan yang Dapat Dikreditkan atas
Perolehan BKP/JKP Dalam Negeri (D.1.2.32.11); dan
6. Formulir 1111 B3- Daftar Pajak Masukan yang Tidak Dapat Dikreditkan atau yang Mendapat Fasilitas (D.1.2.32.12),
Nah Lo untuk yang lapor dengan formulir kertas (hard copy) Lampirannya banyak banget kan, he he he…., tapi tenang rekan-rekan, Untung saja dalam pasal 8 (1) ditegaskan bahwa SPT Masa PPN 1111 tidak perlu dilampiri dengan Lampiran SPT Masa PPN 1111 dalam hal tidak ada data yang dilaporkan dalam Lampiran SPT Masa PPN 1111 tersebut.

Nah Untuk Lebih Jelasnya Rekan-rekan Bisa unduh Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-44/PJ/2010 Tentang Bentuk, Isi, Dan Tata Cara Pengisian Serta Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (Spt Masa Ppn), Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-45/PJ/2010 Tentang Bentuk, Isi, Dan Tata Cara Pengisian Serta Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (Spt Masa Ppn) bagi Pengusaha Kena Pajak Yang Menggunakan Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan , eSPT PPN 1111 dan 1111 DM, Atau mau Unduh Juga untuk Form SPT Masa PPN dalam Format Excel
 
 Salam

2 Jun 2010

PPN Atas Kegiatan Membangun Sendiri


Lagi-lagi mengenai PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri..he he he, loh kok lagi-lagi kaya yang diblog ini pernah menulis dan membahas berkaitan PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri aja ya , memang betul diblog ini belum pernah membahas mengenai hal ini, mungkin rekan-rekan bingung kenapa saya bilang lagi-lagi, maksud saya berkaitan PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri ini meskipun belum pernah dibahas dalam blog ini namun saya yakin rekan-rekan sudah sempat membaca dan mengetahui apa itu PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri  bagaimana tidak  peratauran yang berkaitan dengan PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri ini sudah beberapa kali berubah, namun demikian apa salahnya saya mengulas kembali mengenai PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri ini, oke deh kita sudahi saja basa-basinya dan memulai untuk mengulasnya he..he..he..
Kegiatan membangun sendiri merupakan suatu kegiatan/transaksi yang menjadi objek pengenaan PPN, Hal ini diatur dalam Pasal 16C Undang-Undang No.18 Tahun 2000 sebagaimana telah dirubah terakhir dengan Undang-Undang No.42 Tahun 2009. “Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain yang batasan dan tata caranya diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan." batasan dan tata cara Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai diatur lebih lanjut dalam Keputusan Menteri Keuangan No.554/KMK.04/2000 sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan No.320/KMK.03/2002 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan No.39/PMK.03/2010 dimana perubahan dalam peraturan ini terakhir mengenai batasan luas bangunan yang dikenakan PPN, dimana batasan sebelumnya 200 m2 diubah menjadi 300 m2, artinya PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri dikenakan atas kegiatan membangun sendiri dengan luas minimal 300 m2. jadi jika dibawah batasan itu tidak dikenakan PPN Kegiatan Membangun Sendiri, Kemudian Dalam Pasal 8 disebutkan bahwa tata cara pengisian Surat Setoran Pajak (SSP), pelaporan dan pengawasan pengenaan PPN atas kegiatan membangun sendiri diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak. Untuk menjalankan ketentuan ini, Direktur Jenderal Pajak menetapkan PER-27/PJ/2010  yang disampaikan melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-70/PJ/2010 Tentang tata cara pengisian surat setoran pajak, pelaporan, dan pengawasan pengenaan pajak pertambahan nilai atas kegiatan membangun sendiri.

Berikut hal –hal yang perlu di Perhatikan :
•    Membangun sendiri tersebut dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan, yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan oleh pihak lain
•    Bangunan yang dibangun sendiri diperuntukkan bagi tempat tinggal, tempat usaha atau tempat tinggal untuk usaha.
•    Bangunan untuk tempat tinggal adalah bangunan atau kontruksi yang diperuntukkan bagi tempat tinggal, termasuk fasilitas olah raga atau fasilitas lain. Bangunan untuk tempat usaha adalah keseluruhan bangunan atau kontruksi yang diperuntukkan bagi tempat usaha termasuk seluruh fasilitas yang ada. Bangunan tempat tinggal untuk usaha adalah bangunan atau konstruksi tempat tinggal yang sebagian bangunan atau seluruhnya digunakan untuk kegiatan usaha
•    Termasuk kegiatan membangun sendiri adalah kegiatan membangun bangunan yang dilakukan melalui kontraktor atau pemborong tetapi atas kegiatan membangun tersebut tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai, dan kontraktor atau pemborong tersebut bukan merupakan Pengusaha Kena Pajak.
•    Batasan bangunan yang dikenai PPN kegiatan membangun sendiri adalah satu atau lebih konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada satu kesatuan tanah dan/atau perairan dengan kriteria:
a.   konstruksi utamanya terdiri dari kayu, beton, pasangan batu bata atau bahan sejenis,dan/atau baja;
b. diperuntukkan bagi tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha; dan
c.   luas keseluruhan paling sedikit 300 m2 (tiga ratus meter persegi).

Tarif dan Dasar Pengenaan Pajak
Kegiatan membangun sendiri dikenai Pajak Pertambahan Nilai dengan Tarif 10% dari Dasar Pengenaan Pajak, Dasar Pengenaan Pajak adalah 40% dari seluruh biaya yang dikeluarkan atau dibayarkan, tidak termasuk harga perolehan tanah.

Saat dan Tempat Pajak Terutang
Saat terutang Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun sendiri adalah saat dimulainya secara fisik kegiatan membangun sendiri, seperti penggalian fondasi, pemasangan tiang pancang, atau kegiatan fisik lainnya, Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan secara bertahap dianggap merupakan satu kesatuan kegiatan sepanjang tenggang waktu antara tahapan-tahapan tersebut tidak lebih dari 2 (dua) tahun. Tempat pajak terutang atas kegiatan membangun sendiri adalah di tempat bangunan tersebut didirikan. Apabila kegiatan membangun sendiri dilakukan oleh kantor cabang dari Pengusaha Kena Pajak yang tempat Pajak Pertambahan Nilai terutangnya dipusatkan pada Kantor Pelayanan Pajak Madya, Kantor Pelayanan Pajak di lingkungan Kanwil DJP Wajib Pajak Besar atau Kantor Pelayanan Pajak di lingkungan Kanwil DJP Jakarta Khusus, kegiatan membangun sendiri tersebut terutang di lokasi bangunan didirikan.

Penyetoran dan Pelaporan

•    Pajak Pertambahan Nilai yang terutang ditetapkan sebesar 10% x 40% x jumlah biaya yang dikeluarkan atau dibayarkan pada setiap bulannya, dan harus disetorkan ke Kas Negara paling lama tanggal 15 bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak dan sebelum laporan disampaikan setelah bulan terjadinya pengeluaran biaya tersebut. PPN disetorkan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atas nama orang pribadi atau badan yang melaksanakan kegiatan membangun sendiri.

•    Dalam hal bangunan yang didirikan dalam rangka kegiatan membangun sendiri berada di Kantor Pelayanan Pajak tempat orang pribadi atau badan terdaftar, Kolom Nomor Pokok Wajib Pajak pada Surat Setoran Pajak agar diisi sesuai dengan Nomor Pokok Wajib pajak orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri.

•    Dalam hal bangunan yang didirikan dalam rangka kegiatan membangun sendiri berada di lokasi berbeda dengan Kantor Pelayanan Pajak tempat orang pribadi atau badan terdaftar, maka Kolom Nomor Pokok Wajib Pajak diisi dengan :
a.    angka 01 (nol satu) pada 2 (dua) digit pertama, untuk badan usaha;
b.    angka 04 (nol empat) pada 2 (dua) digit pertama, untuk orang pribadi;
c.    angka 0 (nol) pada 7 (tujuh) digit berikutnya;
d.    angka kode Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang wilayah kerjanya meliputi tempat bangunan tersebut didirikan pada 3 (tiga) digit berikutnya.
e.    angka 0 (nol) pada 3 (tiga) digit terakhir.

•    Dalam hal orang pribadi yang melakukan kegiatan membangun sendiri belum memiliki NPWP, maka pada Surat Setoran Pajak agar diisi dengan :
a.    angka 01 (nol satu) pada 2 (dua) digit pertama, untuk badan usaha;
b.    angka 04 (nol empat) pada 2 (dua) digit pertama, untuk orang pribadi;
c.    angka 0 (nol) pada 7 (tujuh) digit berikutnya;
d.    angka kode Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang wilayah kerjanya meliputi tempat bangunan tersebut didirikan pada 3 (tiga) digit berikutnya.
e.    angka 0 (nol) pada 3 (tiga) digit terakhir.
•    Orang Pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri, wajib melaporkan pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang wilayah kerjanya meliputi tempat bangunan tersebut berada dengan mempergunakan lembar ketiga Surat Setoran Pajak paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak. 

Pengawasan
•    Kantor Pelayanan Pajak Pratama melakukan pengawasan atas penyelesaian kewajiban perpajakan atas kegiatan membangun sendiri yang dilakukan di wilayah kerjanya.

•    Dalam hal orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri belum melaksanakan kewajiban penyetoran dan pelaporan Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas kegiatan membangun sendiri, maka Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang wilayah kerjanya meliputi tempat bangunan didirikan dapat mengeluarkan surat teguran dengan menggunakan format sebagaimana dimaksud pada Lampiran Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-27/PJ/2010.

•    Apabila dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak diterbitkannya surat teguran, orang pribadi atau badan belum menyetor dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai terutang atas kegiatan membangun sendiri, maka dilakukan pemeriksaan pajak untuk menetapkan besarnya Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas kegiatan membangun sendiri tersebut.

•    Berdasarkan hasil pemeriksaan, Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan surat ketetapan pajak atas besarnya Pajak Pertambahan Nilai terutang atas kegiatan membangun sendiri.

•    Dalam hal orang pribadi atau badan belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama menerbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan sesuai ketentuan yang berlaku.

•    Dalam hal orang pribadi atau badan telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak namun berbeda dengan tempat bangunan didirikan, Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama secara jabatan menerbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak sebagai cabang sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Semoga bermanfaat, buat rekan-rekan yang ingin menambahkan silahkan tulis dikotak komentar.

Salam


Eko Dodi Supriatna

24 Mei 2010

Penegasan Atas Pelaksanaan Pasal 31E Ayat (1) Tentang Pengurangan Tarif PPh Sebesar 50% bagi WP Badan dengan Omzet Kurang dari 50M


Wajib Pajak badan dalam  negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif  sebesar 50% (lima  puluh  persen)  dari  tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak  dari  bagian  peredaran bruto sampai dengan Rp4.800.000.000,00 (empat  miliar  delapan  ratus  juta rupiah), Itulah yang disebutkan dalam pasal 31E Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, seperti yang kita ketahui  Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009 otomatis hal ini akan dijadikan sebagai acuan untuk memenuhi kewajiban perpajakan di tahun 2009. namun beberapa waktu yang lalu sebagian besar wajib pajak  ragu untuk menggunakan fasilitas ini dalam menentukan Pajak Penghasilan yang terhutang dikarenakan belum keluarnya  penegasan dan peraturan pelaksananya. Dan akhirnya setelah lama di tunggu tanggal 24 Mei 2010 keraguan tersebut terjawab sudah dengan terbitnya "Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-66/PJ/2010 tentang Penegasan Atas Pelaksanaan Pasal 31E ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008"

Dalam  SE-66/PJ/2010 ditegaskan hal-hal sebagai berikut :
a.       Fasilitas pengurangan tarif sesuai dengan Pasal 31E ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan dilaksanakan dengan cara self assessment pada saat penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan. Dengan demikian, Wajib Pajak tidak perlu menyampaikan permohonan untuk dapat memperoleh fasilitas tersebut.

b.      Batasan peredaran bruto sampai dengan Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) adalah sebagai batasan maksimal peredaran bruto yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak badan dalam negeri untuk dapat memperoleh fasilitas pengurangan tarif sesuai dengan Pasal 31E ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan

c.       Peredaran bruto sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 31E ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh dari kegiatan usaha sebelum dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, meliputi :
1)   Penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan bersifat final;
2)   Penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan tidak bersifat final; dan
3)   Penghasilan yang dikecualikan dari objek pajak.

d.      Fasilitas Pasal 31E ayat (1) tersebut bukan merupakan pilihan. Sepanjang akumulasi peredaran bruto sebagaimana dimaksud pada huruf c di atas tidak melebihi Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah), tarif Pajak Penghasilan yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak badan dalam negeri wajib mengikuti ketentuan fasilitas pengurangan tarif sesuai dengan Pasal 31E ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Berikut ini adalah  Contoh penghitungan fasilitas pengurangan tarif sesuai dengan Pasal 31E ayat (1) UU PPh Download Klik disini

Walaupun penegasan atas pelaksanaan  pasal 31E ayat  (1) ini dikeluarkan sedikit terlambat, karena seperti yang kita ketahui batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh Badan tahun 2009 telah berakhir tanggal 30 April 2010 yang lalu, namun begitu hal ini tetap memberikan kepastian hukum yang lebih jelas bagi WP dalam pemenuhan kewajiban Perpajakan untuk kedepannya, walaupun saya yakin ada dari sebagian WP Badan yang karena keragu-raguannya  belum sempat menggunakan fasilitas sebagaimana maksudkan pasal 31E ayat  (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan dan sudah terlanjur melaporkan SPT Tahunannya, Hal ini tentunya akan mengakibatkan besarnya PPh Terutang akan dihitung terlalu besar, karena dalam poin 2 (d) ditegaskan fasilitas tersebut bukan merupakan pilihan dan wajib dilaksanakan, berkaitan hal tersebut WP yang terlanjur melaporkan SPT Tahunannya dengan tidak menggunakan fasilitas tersebut dapat melakukan pembetulan SPT Tahunan PPh Badan tahun 2009 tersebut, namun hal ini kemungkinan akan mengakibatkan adanya kelebihan pembayaran pajak .
Demikian Semoga bermanfaat,

Salam

Eko Dodi Supriatna

22 Mei 2010

Mengenal Dasar Pajak Beserta Fungsinya


Beberapa hari yang lalu waktu buka-buka blog sambil lihat postingan yang terdahulu  iseng-iseng liat Buku Tamu  ternyata  ada pesan yang ditinggalkan oleh salah satu pengunjung blog ini dan terahir saya ketahui namanya ibu/mba Santi, isi pesan tersebut  berisi sebuah saran agar diblog ini dibahas secara singkat mengenai dasar Perpajakan, nah postingan ini saya tulis untuk memenuhi janji saya  yang sebelumnya saya berpikir kenapa tidak, ya itung-itung saya juga belajar dan mengingat kembali juga kebetulan diblog ini memang belum pernah membahas hal tersebut, Saya yakin banyak orang yang sudah mengetahui apa itu Pajak Beserta Fungsinya namun saya juga percaya cukup banyak yang belum mengetahui/mengerti apa itu Pajak Beserta Fungsinya.
Biar engga kepanjangan ceritanya dan yang mau baca keburu kabur….., kita coba bahas singkat ya .

Dari yang paling sering di dengar, Pajak Menurut Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro SH

Definisi Pajak

“Pajak adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum”

Namun Menurut Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 definisi Pajak adalah sebagai berikut :

“Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”.

Atas kedua definisi tersebut memang sedikit berbeda namun jika diperhatikan dapat diambil kesimpulan yang sama dengan unsur-unsur sbb ;
1.    Iuran atau istilah lain Kontribusi  rakyat (WP/Wajib Pajak) kepada Negara
2.    Berdasarkan Undang undang, Pajak dipungut berdasarkan atau  dengan kekuatan Undang-undang serta peraturan pelaksananya
3.    Tanpa jasa timbal atau kontraprestasi dari Negara yang secara langsung dapat ditunjuk, Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah
4.    Digunakan untuk membiayai rumah tangga Negara, yakni pengeluaran-pengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas.

Fungsi Pajak
Dari definisi dan unsur-unsur  Pajak diatas dapat terlihat apakah fungsi dari Pajak itu sendiri dimana Fungsi tersebut adalah ;
1.    Fungsi Budgetair (Sumber Keuangan Negara)
Pajak mempunyai fungsi budgetair yang artinya Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan Pemerintah untuk membiayai pengeluaran baik rutin maupun pengeluaran untuk pembangunan Sebagai sumber keuangan Negara, pemerintah terus berupaya memaksimalkan pendapatannya untuk Kas Negara, dimana hal ini dapat dilihat dari terus berkembangnya  serta berubahnya peraturan-peraturan dari berbagai jenis pajak seperti:
a.    Pajak Penghasilan, (UU No.36 Tahun 2008)
b.    Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang mewah
(UU No.42 Tahun 2009)
c.    Pajak Bumi dan Bangunan dan Lainnya;
(UU No. 20 TAHUN 2000)
d.    Dan lain-lain,


2.    Fungsi Regulered (Mengatur)
Pajak Mempunyai fungsi mengatur artinya pajak sebagai sebuah alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi ,dan mencapai tujuan-tujuan tertentu diluar bidang keuangan, Misalnya ;
a.    Pajak yang tinggi dikenakan terhadap minuman keras untukmengurangi konsumsi masyarakat terhadap minuman keras
b.    Pajak yang tinggi dikenakan terhadap barang-barang mewah untukmengurangi gaya hidup yang yang konsumtif dari masyarakat
c.    Tarif Pajak untuk ekspor sebesar 0% untuk mendorong ekspor produk Indonesia di pasaran dunia
d.    Tarif Pajak progresif dikenakan dikenakan atas penghasilan, dimana maksudnya adalah agar pihak yang memiliki penghasilan lebih tinggi memberikan kontribusi /membayar Pajak yang tinggi pula, sehingga terjadi pemerataan pendapatan.

Demikian penjelasan secara singkat Mengenal Pajak Beserta Fungsinya Menurut Saya Yang Juga Sedang Belajar Pajak  semoga dapat sedikit memberikan pencerahan untuk rekan-rekan yang sama sekali awam terhadap Pajak Beserta Fungsinya  ya semoga dengan adanya tulisan ini pemahaman sebagian rekan-rekan yang berpandangan negatif Mengenai Pajak Beserta Fungsinya nya yaitu yang sudah disebutkan diatas salah satunya Digunakan untuk membiayai rumah tangga Negara, yakni pengeluaran-pengeluaran yang Bermanfaat Bagi Masyarakat luas meskipun hal ini belum sepenuhnya terlaksanakan, untuk itu agar hal ini berjalan sesuai dengan Fungsinya dan terlaksana dengan baik sudah selayak kita sebagi masyarakat (WP) yang baik secara langsung ataupun tidak langsung merasakan manfaat dari Pajak ini ikut berperan serta dalam upaya-upaya yang dilaksanakan pemerintah, untuk itu mulailah dari diri kita masing-masing ya dari hal-hal kecil saja contohnya mulai mendaftarkan diri sebagai wajib pajak dengan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) bagi yang sudah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, loh kok jadi tambah lagi bahasannya he..he..he...., Berhubung udah pegel ngetiknya dan kepanjangan juga takut keluar dari janji saya untuk membahas secara singkat dan natinya bikin yang baca tambah males, untuk NPWP, apa itu NPWP dan bagaimana cara bikin NPWP nanti lagi aja dilanjutin ya…....Piss....

Nah buat rekan-rekan yang merasa bahasan ini kurang jelas dan mau menambahkan silahkan tulis dikotak komentar agar bisa menambah pengetahuan saya Yang Juga Sedang Belajar Pajak dan rekan-rekan lainnya .

Salam

Eko Dodi Supriatna

Baca Tulisan Lainnya :

Haruskah Wanita Kawin Memiliki NPWP ?

Ikhtisar Biaya Deductible & Non Deductible

Rekonsiliasi Fiskal Atas L/R Komersial

Penegasan Atas Pelaksanaan Pasal 31E Ayat (1) Tentang Pengurangan Tarif PPh Sebesar 50% bagi WP Badan dengan Omzet Kurang dari 50M


Kata Kunci : Mengenal Dasar Pajak Beserta Fungsinya,Fungsi Pajak,Dasar Pajak,Mengenal Pajak 

7 Mei 2010

Penggunaan Aplikasi E-Spt PPN 1107 sesuai UU No.42 2009


Beberapa waktu lalu dengan keluarnya Undang undang Undang undang PPN No.42 2009 Perubahan Ketiga atas Undang-undang Nomor 8 tahun 1983 yang mulai berlaku pada tanggal 1 April 2010 menimbulkan banyak sekali pertanyaan,
Adapun sebagian dari pertanyaan tersebut adalah ;
1.    Apakah Faktur Pajak Standar Masih ada
2.    Kemudian apa yang harus diterbitkan untuk setiap penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak 3.    Apa benar Faktur Pajak Sederhana sudah tidak ada 
4.    Bagaimana dengan penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak terhadap pembeli yang tidak ber NPWP 
5.    Kemudian Bagaimana untuk penggunaan Aplikasi e-SPT PPN 1107 nya
Faktur Pajak Standar dan faktur Pajak Sederhana memang benar sudah tidak lagi disebutkan dalam Undang undang No 42/2009 Yang ada hanya Faktur Pajak hal ini ditegaskan dengan keluarnya SE-42/PJ/2010 untuk lebih jelasnya rekan rekan bisa baca postingan saya yang terdahulu disini.

Berkaitan penggunaan Faktur Pajak Sederhana sudah tidak dapat lagi digunakan maka untuk setiap Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP)  Pengusaha Kena Pajak (PKP) wajib menerbitkan Faktur Pajak (eks Paktur Pajak Standar) namun, dapat tidak diisi dan/atau dikosongkan untuk :
a. Nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak; atau
b. Nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak, dan nama dan tandatangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak untuk Pengusaha Kena Pajak Pedagang Eceran. “Pasal 15 ayat (2)”  PER No.13/PJ/2010

Lalu yang terakhir  bagaimana untuk penggunaan Aplikasi e-SPT PPN 1107 ,
berkaitan dengan ditiadakannya Faktur Pajak Sederhana hal ini tidak singkron dengan penggunaan Aplikasi e-SPT PPN 1107, karena di UU PPN yang baru tidak disebutkan lagi Faktur Pajak Sederhana, sudah tentu hal ini menimbulkan banyak pertanyaan bagaiman dengan penginputan Faktur Pajak (eks Faktur Pajak Sederhana). 
•    Wajib Pajak yang menyampaikan SPT Masa PPN dengan menggunakan aplikasi e-SPT tetap dapat menggunakan aplikasi e-SPT PPN 1107 yang sudah ada sampai Formulir SPT Masa PPN yang baru selesai dibuat yang direncanakan digunakan paling lambat 1 Januari 2011.
•    Untuk Pengusaha Kena Pajak yang menerbitkan Faktur Pajak kepada pembeli tanpa identitas dan Pengusaha Kena Pajak yang menerbitkan Faktur Pajak dalam rangka penyerahan BKP kepada turis asing,
•    Untuk mengakomodir apabila terjadi Nomor Faktur Pajak yang diinput dalam aplikasi e-SPT PPN 1107 A Bagian II "Penyerahan dalam Negeri Dengan Faktur Pajak" tidak berurutan, maka Wajib Pajak terlebih dahulu mengubah setting aplikasi eSPT PPN 1107 pada Informasi Profile bagian Penomoran Faktur diubah menjadi Input Manual pelaporan dalam aplikasi e-SPT PPN 1107 dilakukan dengan cara menggungung nilai Dasar Pengenaan Pajak dan PPN-nya pada Lampiran 1107 A Bagian III "Penyerahan Dalam Negeri Dengan Faktur Pajak Sederhana". SE 59/PJ/2010.
Nah sekarang sudah cukup jelaskan, semoga ulasan diatas bisa sedikit memberikan pencerahan berkaitan dengan penggunaan Aplikasi e-SPT PPN 1107  sehubungan dengan berlakunya Undang undang No. 42 tahun 2009.

Salam

Eko Dodi Supriatna

24 Mar 2010

SE – 42/PJ/2010 Akhirnya Datang Juga


Tanggal 24 Maret 2010 adalah akhir penantian sekaligus penutup kebingungan mengenai bagaimana jenis dan bentuk Faktur Pajak serta bagaimana tata cara pembuatan Faktur Pajak, karena inilah yang ditunggu-tunggu jawabannya SE – 42/PJ/2010 sebagai Penyampaian Peraturan Menteri Keuangan No.38/PMK/.03/2010 Tentang Tatacara Pembuatan dan Tatacara Pembetulan atau Tatacara Penggantian Faktur Pajak, dan PER-13/PJ/2010 Tentang Bentuk, Ukuran, Prosedur Pemberitahuan dalam rangka Pembuatan, Tatacara Pengisian Keterangan, Tatacara Pembetulan atau Penggantian, dan Tatacara Pembatalan Faktur Pajak.
Dengan keluarnya peraturan ini maka perlu diperhatikan beberapa hal,
• Pengusaha Kena Pajak (PKP) wajib menerbitkan Faktur Pajak untuk setiap penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak.
• Faktur Pajak harus dibuat pada saat:
- Penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak;
- Penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak;
- Penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan; atau
- PKP menyampaikan tagihan kepada Bendahara Pemerintah sebagai Pemungut PPN.
• Faktur Pajak Gabungan harus dibuat paling lama pada akhir bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak.
• Faktur Penjualan yang memuat keterangan sesuai dengan keterangan dalam Faktur Pajak sebagaimana dipersyaratkan dalam Pasal 13 ayat (5) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 stdtd Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 dan pengisiannya sesuai dengan Tata Cara Pengisian Keterangan pada Faktur Pajak, dipersamakan dengan Faktur Pajak.
• Bentuk dan ukuran formulir Faktur Pajak disesuaikan dengan kepentingan PKP dan pengadaan formulir Faktur Pajak dilakukan sendiri oleh PKP
• Faktur Pajak harus diisi secara lengkap, jelas, benar dan sesuai dengan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) UU PPN serta ditandatangani oleh pejabat/kuasa yang ditunjuk untuk menandatangani Faktur Pajak. Faktur Pajak yang tidak diisi secara lengkap dan benar dan/atau tidak ditandatangani merupakan Faktur Pajak cacat.

Salam

Eko Dodi Supriatna

23 Mar 2010

Rekonsiliasi Fiskal Atas L/R Komersial


Pembukuan
adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca, dan laporan laba rugi untuk periode Tahun Pajak tersebut.
Dengan adanya pengertian diatas yang akan kita bahas yaitu mengenai laporan laba rugi. Tidak lama lagi SPT Tahunan harus dibuat dan dilaporkan, maka tidak heran jika setiap divisi khusunya yang berkaitan dengan Perpajakan akan disibukan dengan pengumpulan data-data yang diperlukan guna penyusunan Laporan Keuangan namun tidak hanya itu tapi harus pula disibukan dengan Laporan Keuangan untuk keperluan Perpajakan yang biasa disebut Laporan Keuangan Fiskal, dalam Pelaporan Keuangan Perusahaan, khususnya laporan Laba Rugi, kita mengenal adanya Laporan Laba Rugi Komersial dan Laporan Laba Rugi Fiskal
Untuk Wajib Pajak Badan besarnya Penghasilan Kena Pajak sama dengan Penghasilan Netto, yaitu Penghasilan Bruto dikurangi dengan biaya-biaya yang diperkenankan oleh undang-undang PPh.
Untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak dapat dirumuskan sebagai berikut
Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak Badan
= Penghasila Netto
= Penghasilan Bruto -  Biaya yang diperkenankan UU PPh

A.    Perbedaan Pengakuan 
Bagi perusahaan, semua pemasukan adalah pendapatan yang akan menambah laba kena pajak , dan semua pengeluaran adalah beban yang akan mengurangi laba kena pajak. tetapi
Menurut perpajakan tidak semua pemasukan adalah faktor penambah laba kena pajak, ada beberapa jenis pendapatan yang bukan merupakan faktor penambah laba kena pajak karena pendapatan tersebut sudah dikenakan pajak bersifat final, dan tidak semua pengeluaran adalah faktor pengurang laba kena pajak karena ada beberapa jenis pengeluaran yang sesungguhnya bukan merupakan bagian dari kegiatan perusahaan. Di dalam Akuntansi Perpajakan perbedaan tersebut adalah :

1.    Beda Tetap/ Permanent,
Beda tetap/ permanent perbedaan ini terjadi karena peraturan perpajakan  mengharuskan hal - hal berikut dikeluarkan dari penghasilan kena pajak :
a.    Penghasilan yang telah dikenakan PPh final:
1.    penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi;
2.    penghasilan berupa hadiah undian;
3.    penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura;
4.    penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan; dan
5.    penghasilan tertentu lainnya,

b.    Penghasilan yang Bukan Objek Pajak
a.1.    bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah; dan
2.     harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan,sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan;
b.    warisan;
c.     harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal;
d.      penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak yang dikenakan pajak secara final atau Wajib Pajak yang menggunakan norma penghitungan khusus (deemed profit) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15;
e.  pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa;
f.  dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik  daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat:
1.     dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan
2.     bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor;
g.    iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai;
h.    penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana dimaksud pada huruf g, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan;
i.     bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif;.
j.      dihapus;
k.     penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut:
1. merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;dan
2.    sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia;
l.     beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
m.     sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; dan
n.     bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kepada Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

c.        Pengeluaran yang tidak berhubungan langsung dengan kegiatan usaha, yaitu untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan dan serta pengeluaran yang sifatnya pemakaian penghasilan atau yang jumlahnya melebihi kewajaran.
 (1)      Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan:
a.     pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen, termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
b.     biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, atau anggota;
c.     pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali:
1.     cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piutang;
2.     cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial yang dibentuk oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial;
3.     cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan
4.     cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan
5.     cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan; dan
6.     cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah industri untuk usaha pengolahan limbah industri, yang ketentuan dan syarat-syaratnya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan
d.     premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan;
e.     penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
f.     jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan;
g.     harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf i sampai dengan huruf m serta zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah;
h.     Pajak Penghasilan;
i.     biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya;
j.     gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham;
k.     sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(2)      Pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun tidak dibolehkan untuk dibebankan sekaligus, melainkan dibebankan melalui penyusutan atau amortisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 atau Pasal 11A.

2.    Beda Waktu/ Sementara

Beda waktu merupakan perbedaan perlakuan akuntansi dan perpajakan yang sifatnya sementara, yaitu secara keseluruhan beban atau pendapatan akuntansi maupun perpajakan sebenarnya sama, tetapi berbeda alokasinya perbedaan ini biasanya terjadi karena penggunaan metode menurut akuntansi dan perpajakan antara lain :
1.    Akrual dan Realisasi
2.    Penilaian persediaan
3.    Penyusutan dan Amortisasi dll

B.    Rekonsiliasi Fiskal    Dengan adanya perbedaan tersebut diatas dilakukan penyesuaian-penyesuaian atas laba komersial yang berbeda dengan ketentuan fiskal untuk menghasilkan laba yang sesuai dengan ketentuan perpajakan, Penyesuaian tersebutlah yang dikenal dengan istilah Rekonsiliasi fiskal/ koreksi fiskal
Koreksi fiskal terdiri dari dua :
1.    Koreksi Positif dilakukan apabila pendapatan menurut fiskal bertambah, dan dilakukan  karena adanya :
1.    Beban-beban atau pengeluaran yang tidak diakui oleh pajak
2.    Penyusutan komersial yang berbeda dengan penyusutan fiskal
3.    Amortisasi komersil yang berbeda dengan penyusutan fiskal
4.    Biaya yang ditangguhkan pengakuannya
5.    Penyesuaian fiskal positif lainnya

2.    Koreksi Negatif  yaitu koreksi-koreksi untuk mengurangi Laba Akuntansi :
1.    Penghasilan yang dikenakan PPh final
2.    Penghasilan yang tidak termasuk objek pajak
3.    Penyesuaian fiskal negatif lainnya
Oleh karena itu atas akun perkiraan yang telah dihitung dan sesuai dengan ketentuan Perpajakan tidak perlu lagi dilakukan Koreksi Fikal.
Berikut biaya-biaya yang dapat dikurangkan  dari penghasilan bruto berdasarkan Undang-undang PPh No. 36 Tahun 2008  perubahan keempat atas undang-undang nomor 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan :
(1).    Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk:
a.     biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha, antara lain:
1.    biaya pembelian bahan;
2.    biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium,  bonus,gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang;
3.    bunga, sewa, dan royalti;
4.        biaya perjalanan;
5.    biaya pengolahan limbah;
6.    premi asuransi;
7.    biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
8.    biaya administrasi; dan
9.    pajak kecuali Pajak Penghasilan;
b.    penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan  amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa  manfaat lebih dari 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal   11A;
c.    iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan;
d.    kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan;
e.    kerugian selisih kurs mata uang asing;
f.    biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia;
g.    biaya beasiswa, magang, dan pelatihan;
h.    piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan syarat:
1.    telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;
2.    Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak; dan
3.    telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau
instansi pemerintah yang menangani piutang negara; atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan; atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu;
4.    syarat sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak berlaku untuk penghapusan piutang tak tertagih debitur kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf k; yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
i.    sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
j.     sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
k.    biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
l.     sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah; dan
m.   sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2).     Apabila penghasilan bruto setelah pengurangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didapat kerugian, kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun.
(3).     Kepada orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri diberikan pengurangan berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.

C.    Contoh Kasus

Supaya ngga tambah bingung berikut saya sajikan contoh kasusnya, berhubung saya belum bisa bikin tabel dalam Posting blog jadi unduh aja Contoh kasusnya disini, maaf  ya.

Saya harap  contoh kasus diatas dapat mewakili akun-akun perkiraan yang harus dan tidak harus dilakukan penyesuaian guna memperoleh laba yang sesuai dengan ketentuan fiskal Untuk pos-pos lain atau akun-akun perkiraan lain pembaca dapat langsung mempelajarinya melalui Daftar Biaya Fiskal/ Ikhtisar Biaya yang Deductible dan non Deductible Expenses, terakhir penulis berharap artikel ini dapat bermanfaat dan sedikit membantu dalam menyusun atau melakukan Koreksi Fiskal atas Laba/Rugi Komersial guna kepentingan Perpajakan.
Selamat mencoba..!!!!!
Salam
Eko Dodi Supriatna

23 Feb 2010

Norma Penghitungan Penghasilan Neto Wajib Pajak Orang Pribadi

Membuat atau menyelenggarakan pembukuan bagi sebagian Wajib Pajak merupakan hal yang cukup sulit untuk dilakukan disamping karena kurangnya pengetahuan mengenai Akuntansi juga akan dirasakan kurang efisien jika harus mempekerjakan karyawan dengan tujuan hanya untuk membuat atau menyajikan pembukuan. Norma Penghitungan Penghasilan Neto untuk menentukan penghasilan neto, dibuat dan disempurnakan terus-menerus serta diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak, Tujuannya untuk memberikan kemudahan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi untuk menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto sehingga tidak perlu membuat pembukuan tetapi cukup hanya membuat pencatatan.

Apa Sih Pembukuan dan Pencatatan Itu ?
Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca, dan laporan laba rugi untuk periode Tahun Pajak tersebut.

Pencatatan adalah pengumpulan data secara teratur tentang peredaran atau penerimaan bruto dan/atau penghasilan bruto sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak yang terutang, termasuk penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau yang dikenai pajak yang bersifat final.

Siapa Yang Wajib Menyelenggarakan Pembukuan dan/atau Pencatatan ?
Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep - 536/Pj./2000 yang telah diubah dengan  Peraturan Menteri Keuangan Nomor  01/PMK.03/2007.
1.    Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran bruto   sebesar  Rp. 1.800.000.000,00 (satu miliar delapan ratus juta rupiah) atau lebih dalam 1 (satu) tahun wajib menyelenggarakan pembukuan.
2.    Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran bruto di bawah Rp. 1.800.000.000,00 (satu miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) tahun wajib menyelenggarakan pencatatan, kecuali Wajib Pajak yang bersangkutan memilih menyelenggarakan Pembukuan.
3.    Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) yang tidak memilih untuk menyelenggarakan pembukuan, menghitung penghasilan neto usaha atau pekerjaan bebasnya dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.

Namun Ketentuan Besaran Peredaran Bruto Ini Berubah Dengan Adanya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan yang tertuang dalam Pasal 14 Ayat (2) berikut kutipan nya :
” Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran brutonya dalam 1 (satu) tahun kurang dari Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) boleh menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dengan syarat memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan.”

Hal Yang Perlu Diperhatikan Bagi Wajib Pajak Yang Menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto
Dikatakan bahwa Wajib Pajak yang boleh menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, wajib memberitahukan mengenai penggunaan Norma Penghitungan kepada Direktur Jenderal Pajak paling lama 3 (tiga) bulan sejak awal tahun pajak yang bersangkutan, Pemberitahuan penggunaan Norma Penghitungan Penghasilan Neto yang disampaikan dalam jangka Tersebut dianggap disetujui kecuali berdasarkan hasil pemeriksaan ternyata Wajib Pajak tidak memenuhi persyaratan untuk menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, Sementara Wajib Pajak yang tidak memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak sesuai dengan jangka waktu yang telah ditentukanakan maka dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan.

Hal Yang Perlu Diperhatikan Bagi Wajib Pajak Yang Melakukan Pembukuan
Hal yang harus diperhatikan bagi Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan Pembukuan  serta Wajib Pajak yang boleh menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto namun memilih melakukan pembukuan haruslah sedapat mungkin menyajikan pembukuan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca, dan laporan laba rugi untuk periode Tahun Pajak tersebut, karena jika dapat dibuktikan wajib pajak yang ternyata tidak atau tidak sepenuhnya menyeIenggarakan pembukuan, maka penghasilan netonya dihitung dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto. Serta  dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen) dari pajak penghasilan yang tidak atau kurang dibayar dalam tahun pajak yang bersangkutan.

Berapa Sih Besarnya Norma penghitungan Penghasilan Neto ?
Norma penghitungan Penghasilan Neto dikelompokkan menurut wilayah sebagai berikut :
a.    10 (sepuluh) ibukota propinsi yaitu Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Denpasar, Manado, Makassar, dan Pontianak;
b.    ibukota propinsi lainnya;
c.    daerah lainnya.
           
Daftar Persentase Penghasilan Neto adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran 1 Keputusan ini.

Bagaimana Jika Wajib Pajak mempunyai lebih dari satu jenis usaha atau pekerjaan bebas ?
1.    Penghitungan penghasilan neto Wajib Pajak yang mempunyai lebih dari satu jenis usaha atau pekerjaan bebas, dilakukan terhadap masing-masing jenis usaha dengan memperhatikan pengelompokan wilayah yang tertulis diatas.

2.    Penghasilan neto Wajib Pajak yang mempunyai lebih dari satu jenis usaha adalah penjumlahan penghasilan neto dari masing-masing jenis usaha atau pekerjaan bebas yang dihitung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Bagaimana Cara Untuk Menghitung Penghasilan Neto ?
1.    Penghasilan neto bagi tiap jenis usaha dihitung dengan cara mengalikan angka persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto dengan peredaran bruto atau penghasilan bruto dari kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dalam 1 (satu) tahun.

2.    Dalam menghitung besarnya Pajak Penghasilan yang terutang oleh Wajib Pajak orang pribadi, sebelum dilakukan penerapan tarif umum terlebih dahulu dihitung Penghasilan Kena Pajak dengan mengurangkan Penghasilan Tidak Kena Pajak dari penghasilan neto sebagaimana dimaksud dalam
    ayat (1).

Biar Ngga Tambah Bingung Berikut Contoh Pemakaian Norma :

A
. Wajib Pajak A kawin dan mempunyai 3 (tiga) orang anak. Ia seorang dokter bertempat tinggal di Jakarta yang juga memiliki industri rotan di Cirebon.
-  Peredaran Usaha dari Industri
Rotan (setahun) di Cirebon                               Rp. 40.000.000,00
-  Penerimaan bruto sebagai dokter (setahun)
di Jakarta                                                         Rp. 72.000.000,00

Penghasilan neto dihitung sebagai berikut :
-  Dari industri rotan :
               12,5% X Rp. 40.000.000,00            Rp. 5.000.000,00
-  Sebagai dokter :        
              45% X Rp. 72.000.000,00                Rp. 32.400.000,00
jumlah penghasilan Neto                                  Rp. 37.400.000,00

Penghasilan Kena Pajak = Penghasilan Neto dikurangi Penghasilan Tidak Kena Pajak 
     Rp. 37.400.000,00 - Rp.8.640.000,00 =  Rp. 28.760.000,00
Pajak penghasilan yang terutang :
-    5% X Rp. 25.000.000,00                         Rp. 1.250.000,00
-    10% X Rp. 3.760.000,00                         Rp. 376.000,00
     Jumlah                                                       Rp. 1.626.000,00

Catatan :
a.  Angka 12,5% untuk industri rotan, lihat kode 33100
b. Angka 45% sebagai dokter, lihat kode 93213
c.  Istri tidak punya penghasilan.

B. Seorang Wajib Pajak baru memiliki usaha sebagai pedagang eceran bahan makanan di Jakarta. Penjualan dalam satu bulan diperkirakan sebesar Rp.15.000.000,00 Ia kawin dan mempunyai 2 (dua) orang anak. Besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 yang harus dibayar sebagai angsuran dalam tahun berjalan dihitung sebagai berikut : Jumlah peredaran setahun 
= 12 X Rp. 15.000.000,00     Rp.180.000.000,00
Persentase penghasilan menurut norma Kode 62320 = 25%
Penghasilan neto setahun = 25% X Rp. 180.000.000,00     Rp.45.000.000,00
Penghasilan Kena Pajak = penghasilan neto dikurangi
Penghasilan Tidak Kena Pajak
= Rp. 45.000.000,00 - Rp. 7.200.000,00                           Rp.37.800.000,00
Pajak Penghasilan yang terutang
= 5% X Rp. 37.800.000,00                                                Rp.1.890.000,00
pajak Penghasilan Pasal 25 yang harus dibayar
= 1/12 X Rp. 1.890.000,00                                                Rp.157.500,00


Catatan : Besarnya Tarif dan PTKP disesuaikan dengan Perubahan, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan

Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri
Lapisan Penghasilan Kena Pajak     ( PKP )               Tarif Pajak

Sampai dengan Rp. 50.000.000,-                                          5%
Diatas Rp. 50.000.000,- sampai dengan Rp. 250.000.000,-  15%
Diatas Rp. 250.000.000,- sampai dengan Rp. 500.000.000,- 25%
Diatas Rp. 500.000.000,-                                                    30%

Penghasilan Tidak Kena Pajak ( PTKP )
No    Keterangan                                                   Setahun
1.     Diri Wajib Pajak Orang Pribadi                   Rp. 15.840.000,-
2.     Tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin    Rp. 1.320.000,-
3.     Tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya
        digabung dengan penghasilan suami.            Rp. 15.840.000,-
4.    Tambahan untuk setiap anggota keturunan 
       sedarah semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat
        yang diatnggung sepenuhnya , 
        maksimal 3 orang untuk setiap keluarga        Rp. 1.320.000,-

Salam

Eko Dodi Supriatna

22 Feb 2010

Ikhtisar Biaya Deductible & Non Deductible


Mungkin Istilah diatas sudah tidak asing lagi bagi sebagian rekan-rekan, berdasarkan UU Nomor 36 tahun 2008, pada pasal 6 mengatur besarnya penghasilan kena pajak bagi wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, yang biasa disebut 3m. dan pada pasal pasal 9 mengatur mengenai biaya yang tidak boleh menjadi pengurang dalam menentukan besarnya penghasilan kena pajak bagi wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, Kesimpulanya Menurut Perpajak tidak semua biaya dapat menjadi pengurang penghasilan bruto untuk menentukan besarnya penghasilan kena pajak, agar lebih mudah dalam melakukan analisa dan/atau rekonsiliasi fiskal dalam menentukan biaya mana sajakah yang dapat dikurangkan atau tidak dapat dikurangkan, berikut saya sajikan susunan daftarnya, untuk mengunduh klik Disini
sambil ngopi mantapp..

Baca Tulisan Lainnya :

Haruskah Wanita Kawin Memiliki NPWP ?

Rekonsiliasi Fiskal Atas L/R Komersial

Penegasan Atas Pelaksanaan Pasal 31E Ayat (1) Tentang Pengurangan Tarif PPh Sebesar 50% bagi WP Badan dengan Omzet Kurang dari 50M

Kata Kunci : Ikhtisar Biaya Fiskal,Daftar Biaya Fiskal,Biaya Pajak,Koreksi Biaya,Koreksi Fiskal,Daftar Biaya

Salam 

Eko Dodi Supriatna

21 Feb 2010

Surat Pemberitahuan Tahunan Wajib Pajak Orang Pribadi


Nomor Pokok Wajib Pajak ( NPWP ) adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya. Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak. Ketegasan tentang hal ini, sudah dinyatakan dalam  Undang-undang Republik Indonesia nomor 28 tahun 2007 perubahan ketiga atas Undang-undang nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan tata cara Perpajakan.
Seperti yang kita ketahui beberapa waktu yang lalu banyak orang berbondong-bondong mendatangi Kantor Pelayanan Pajak untuk mendaptarkan diri serta memperoleh NPWP dengan berbagai macam maksud dan tujuan ada yang bertujuan agar memperoleh fasiltas bebas fiskal, ada yang bertujuan untuk menghindari pengenaan tarif lebih tinggi 20%  ( Pasal 21 ayat 5a UU No.36 Tahun 2008 ), dan ada pula yang hanya ikut-ikutan tanpa tau apa kewajiban yang harus dilakukan setelah memiliki NPWP tersebut, padahal dengan adanya kepemilikan NPWP ini wajib pajak memiliki kewajiban untuk menyampaikan/ melaporkan Surat Pemberitahuan, dimana  surat pemberitahuan ini adalah suatu media yang digunakan oleh wajib pajak untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Salah-salah  yang tadinya berniat baik untuk mendaftarkan diri malah berujung sebaliknya karena tidak melakukan kewajiban dalam menyampaikan SPT sebagaimana mestinya.
Bentuk  formulir Surat Pemberitahuan ( SPT ) Tahunan Pajak penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi, berdasarkan PER.34/PJ/2009
1.    Formulir Surat Pemberitahuan ( SPT ) Tahunan Pajak penghasilan wajib pajak orang pribadi, Formulir 1770 digunakan bagi wajib pajak yang mempunyai penghasilan :
a.    Dari usaha/pekerjaan bebas yang menyelenggarakan Pembukuan atau Norma Perhitungan Penghasilan Neto
b.    dari satu atau lebih pemberi kerja
c.    yang dikenakan PPh Final dan/atau Bersifat Final; dan/atau
d.    Penghasilan lain,

2.    Surat Pemberitahuan ( SPT ) Tahunan Pajak Penghasilan  Wajib Pajak Orang Pribadi Sederhana Formulir 1770 S, digunakan bagi wajib pajak yang mempunyai penghasilan :
a.    Dari satu atau lebih pemberi kerja;
b.    dari dalam negri lainnya; dan/atau
c.    yang dikenakan PPh Final dan/atau bersifat Final,

3.    Surat Pemberitahuan ( SPT ) Tahunan Pajak Penghasilan  Wajib Pajak Orang Pribadi Sangat Sederhana Formulir 1770 SS, berdasaran PER-34/PJ/2009 sebagaimana telah dirubah terakhir dengan PER-66/PJ/2009 digunakan bagi wajib pajak yang mempunyai penghasilan; Hanya dari satu pemberi kerja dengan jumlah penghasilan bruto dari pekerjaan tidak lebih dari Rp 60.000.000,00 ( enam puluh juta rupiah ) setahun dan tidak mempunyai penghasilan lain kecuali penghasilan bunga bank dan/atau bunga koperasi, dan wajib melampirkan Formulir 1721-A1 dan/atau Formulir 1721-A2 dimana merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Formulir 1770 SS.
Batas waktu penyampaian untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi, paling lama 3 (tiga) bulan setelah akhir Tahun Pajak;

Namun berdasarkan Peraturan Mentri Keuangan Nomor 183/PMK.03/2007
Wajib Pajak Pajak Penghasilan tertentu adalah Wajib Pajak yang memenuhi kriteria sebagai berikut :
a.    Wajib Pajak orang pribadi yang dalam satu Tahun Pajak menerima atau memperoleh penghasilan neto tidak melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 Undang-Undang Perubahan Ketiga Pajak Penghasilan 1984, dikecualikan dari kewajiban menyampaikan SPT Masa Pajak Penghasailan Pasal 25 dan SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi.

b.    Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan kegiatan usaha atau tidak melakukan pekerjaan bebas, dikecualikan dari kewajiban menyampaikan SPT Masa Pajak Penghasilan Pasal 25.
Namun demikian penulis menganjurkan agar wajib pajak menyampaikan pemberitauan atau berkonsultasi terlebih dahulu kepada Kantor Pelayanan Pajak dimana Wajib Pajak terdaftar, untuk informasi yang lebih lanjut.

Terakhir penulis berharap tulisan ini dapat memberikan sedikit pemahaman bagi para pembaca khususnya bagi para wajib pajak yang baru memiliki atau memperoleh NPWP agar mengetahui kewajiban yang melekat atas kepemilikan NPWP, serta Formulir mana yang harus digunakan dalam menyampaikan SPT Tahunan Wajib pajak Orang Pribadi yanga sesuai dengan kondisi pekerjaan dan penghasilan yang diperoleh .CMIIW..
Correct Me If  I'm Wrong

Best Regard's

Eko Dodi Supriatna